Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis hal blog ini

Senin, 17 Januari 2011

Lukisan-lukisan Studi Nasbahry Couto ( yang Tersisa dari Masa Lampau)

Pada entri ini dimuat beberapa karya yang masih tersisa dari masa lampau (zaman dulu) sewaktu masih sekolah di SMP dan SMA, dan awal masuk perguruan tinggi. Sebagian besar koleksi karya-karya ini sudah hilang di perjalanan waktu. (untuk melihat karya yang lebih baru atau sambungan tulisan ini, klik bagian ini 

Tujuan untuk memuat karya-karya ini adalah untuk memperlihatkan bahwa penulis juga pernah belajar menggambar pada masa kanak-bkanak dan remaja dengan pelukis Wakidi antara tahun 1963 sd tahun 1969. Dan memiliki sedikit ketrampilan menggambar saat akan memasuki perguruan tinggi.Kenapa puluhan tahun lamanya karya-karya ini masih ada, ternyata menyimpan sketsa-sketsa ini di balik tumpukan buku menyebabkan karya ini aman tidak rusak, walaupun sebagian besar sudah hilang. Beberapa karya ini masih dalam bentuk sketsa, hasil lukisan cat air, tinta hitam dan pastel.
Proses belajar : tahun 1963-1969. Tempat belajar : ruang tamu rumah Wakidi, Waktu belajar: setiap hari minggu , dari jam 15. - jam 18 sore hari. ( 4 kali dalam satu bulan). Kelompok belajar 4-5 orang yaitu : Tarmizi Firdaus (lulusan jurusan Seni Lukis ITB), Nasbahry Couto, Nazwir (win) ( yang sekarang menjadi dokter disamping melukis), Yazid (yang benar-benar jadi pelukis) dan Ardha Prihandono ( yang lulusan ITB Bandung dan sempat menjadi dosen di sana. Biaya belajar: umumnya tidak ada pungutan uang belajar alias gratis oleh Wakidi. Pembelajaran ini, seingat penulis adalah permintaan dari orang tua penulis kepada Wakidi untuk mengasuh anak-anaknya, kebetulan ibu penulis adalah murid Wakidi juga sewaktu di Normal School Padang Panjang. Wakidi disamping mengajar menggambar juga mengajarkan musik, khususnya piano, biola dan gitar. Orang tua penulis juga menjadi guru (SD dan SMP), beliau sedikitnya pandai memainkan piano dan mengenal serta menyukai lagu-lagu klassik Barat.
Tarmizi dan Nasbahry kemudian melanjutkan studi ke jurusan Seni Rupa di Bandung. Nazwir masuk fakultas kedokteran Unand. Sedangkan Arda masuk ke STSRI Yogyakarta (sekarang ISI) . Sedangkan Yazid yang keturunan pedagang, rasanya tidak melanjutkan studi. Diantara kelompok ini yang benar-benar menjadi pelukis adalah Yazid, Ardha dan Tarmizi Firdaus. Nazwir (win) menjadi dokter di kota Medan, tetapi juga membuka sanggar untuk melukis.

Mulai belajar menggambar tahun 1963, karya ini dibuat tahun 1964, ini diantara karya cat air yang pertama, melukiskan pemandangan di daerah Kamang di Bukittinggi. Di bagian belakang adalah bukit barisan
Untuk melihat lokasi (klik kanan ini)


Dongeng  putri rimba mandi di mata air, di bawah pohon beringin (1964)

Sebagai anak kecil mulai beranjak remaja, kadang-kadang juga ingin menggambarkan khayalan tentang putri rimba.


Setiap murid tentu terpengaruh oleh gurunya dalam cara menggambar, pemandangan di danau Singkarak dengan pohon beringin di tepi air. Latihan-latihan sketsa ini menggiring kepada cara melukis cat air dan cat minyak. (1964)


pemandangan di lorong-lorong tebing ngarai Sianok, Bukittinggi. (1966), Penulis waktu itu baru kelas tiga SMP, sebagai anak yang baru beranjak remaja suka bertualang ke dalam ngarai yang banyak liku-likunya, rasa ingin tahu tentang lorong-lorong ngarai itu, dan melukiskannya dengan teknik tinta. Hasilnya adalah seperti ini.Untuk melihat lokasi.(klik kanan ini)/ Lokasi lorong ngarai


Pedati di bawah terang bulan, studi cat air hitam-putih (1966


Pemandangan di daerah Kamang. Studi cat air (1966). 
Hampir tiga tahun belajar menggambar penguasaan teknik cat air mulai dikuasai, ini adalah salah satu dari studi cat air yang masih tersisa. Untuk melihat lokasi (klik kanan ini


Pemandangan di dalam ngarai Sianok Bukittinggi (1967). 

Latar belakang adalah gunung Merapi. Kadang-kadang sebuah lukisan bukanlah semata hasil rekaman penglihatan, tetapi berasal dari ingatan / kenangan. Waktu itu kami bertiga yaitu penulis, adik penulis dan ayah (almarhum) berjalan kaki masuk ngarai Sianok dengan maksud pulang kampung dari kota Bukittinggi. Matahari pagi dan suasana yang cerah, gembira ,dan penuh canda. Hal ini yang mendorong untuk membuat sketsa dan melukiskannya.Untuk melihat lokasi (klik kanan ini)


Studi sketsa dari pengalaman yang sama (1967
Lokasi  Sketsa (klik kanan)








Untuk melihat lokasi (klik kanan ini)





Wakidi juga banyak menggambarkan perempuan (manusia) sebagai objek lukisannya, hal ini juga mempengaruhi murid-muridnya.  Ketertarikan terhadap wanita mulai muncul waktu kelas satu SMA, ini adalah salah satu khayalan tentang wanita yang digabung dengan gambar pemandangan.(1967).


Adik kecil


Pemandangan dari Kampung Pisang, Bukittinggi (sketsa), tahun 1968.
Untuk melihat lokasi (klik kanan ini)


Teman akrab (1968)

Waktu kelas dua SMA sudah mulai menguasai teknik cat minyak (oil painting), dan banyak juga orang yang suka dan membeli lukisan.  Orang tua penulis menyediakan kamar khusus untuk melukis dengan cat minyak. Ada seorang teman akrab yang suka mengintip penulis waktu bekerja, namanya Hartati. Lukisan ini adalah pemandangan di belakang rumah dimana beliau ini tidak sore atau pagi suka datang mengganggu. Kebetulan satu SMA pula, beliau itu kelas satu Sosial Budaya dan penulis kelas dua jurusan Ilmu Pasti Alam. (lukisan cat air 1968).

Untuk melihat lokasi (klik kanan ini)





Kampung dengan rumah adat (1969), sketsa.

Kami tidak pernah belajar bagaimana sebenarnya sebuah rumah gadang atau rumah adat itu seharusnya digambar, kecuali melihat apa yang nampak atau di khayalkan. Hal yang sama juga dialami oleh murid-murid Wakidi.

Studi khusus tentang rumah adat atau ukiran-ukirannya hampir tidak pernah ada. Kecuali melukis atau menggambar objek-objek yang ada di lingkungan atau alam. Pada dasarnya belajar menggambar adalah untuk melukiskan alam yang ada disekitar. Sketsa ini memperlihatkan penguasaan terhadap objek-objek dengan teknik pensil.





Pondok kecil di Baso (1968).
Akhir tahun 1968,  teman akrab penulis pergi ke kota Bandung, sebelum dia pergi dia mengajak jalan-jalan ke Baso. Di kota Bandung kita bertemu lagi. Jadilah sketsa ini tetap disimpan sebagai kenang-kenangan dengan beliau itu.
Untuk melihat lokasi (klik kanan ini)



Studi cat air (oleh Wakidi, 1966). 

Wakidi tidak hanya mengajarkan teori, tetapi praktik langsung dihadapan murid-muridnya. Disamping menguasai lukisan cat minyak belau memang master di bidang cat air. Ini adalah salah satu hasil praktik langsung yang diberikan kepada penulis setelah belajar teknik cat air (water color)





Teknik cat poster (1970). Cat poster mungkin tidak dikenal lagi oleh generasi sekarang, sebab jenis cat ini umumnya sudah menghilang dari pasaran.








Studi Cat Air






 Rumah kumuh di kota (1971), sketsa cepat


Indekost (1971), sketsa cepat




 Pantai (1971). Sketsa cepat


Kawasan Puncak Bogor: Megamendung (1975)

Lokasi Megamendung (rumah Dr.H.Hasim Ning Alm)


Kampus ITB  (1971). Sketsa cepat

Beberapa Catatan

Walaupun penulis menguasai teknik melukis atau menggambar, penulis tidak menjadi pelukis dalam pengertian selalu melukis dan tidak pula menjadi guru gambar, kecuali menjadi pengajar menggambar di jurusan arsitektur. Ada beberapa karya lukisan penulis dan itu akan dimuat pada entri/laman lain, dimana karya-karya itu dijual atau dikomersilkan.

Pengaruh Wakidi terhadap murid-muridnya sangat besar, tidak saja dalam hal teknik dan subjek lukisan, tetapi juga dalam sikap hidup yang umumnya "low profile", tidak sombong, hidup dalam kesederhanaan dan kesetaraan. Pergaulan selama 6 tahun berturut-turut adalah sesuatu yang tidak bisa dilupakan.

Tetapi masing-masing kami menjadi sangat berbeda dalam cara melakukan sikap hidup seperti itu. Ajaran yang dianggap penting bagi kami adalah tentang kerja tangan, menggambar adalah kerja tangan, bergaul dengan cat minyak bisa sangat kotor. 

Bekerja bukanlah harus memiliki titel atau gelar sarjana tertentu, kemudian duduk di belakang meja dan memerintah orang seperti kebanyakan sifat orang Timur yang merasa terhormat jika sudah memiliki mobil, status dan kedudukan tertentu dalam masyarakat. Pandangan seperti ini sebenarnya sudah melampaui zamannya, orang seperti itu menurut beliau tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali ingin dianggap lebih dari orang lain dan memerintah. Jika disuruh bekerja tidak akan menghasikan apa-apa. Jika bepergian beliau itu tetap memakai sepeda, walaupun beliau itu mampu membeli mobil.

Memang banyak orang yang bercerita tentang Wakidi, dan mungkin mengenalnya dari dekat, bagi penulis hal itu tidak menjadi masalah, sebab rentang waktu mengenalnya pergenerasi sangat panjang. 

Berapa literatur yang pernah menulis tentang beliau adalah Art in Indonesia: Continue and Change karangan Claire Holt, tetapi namanya populer di wacana akademi sejak terbitnya buku Seni Lukis Indonesia Baru, karangan Dr. Sanento Yuliman (alm) dan Jimmi Supangkat, beberapa argumen tentang beliau didasari wawancara pengarang buku ini dengan Tarmizi Firdaus.

Sebenarnya ada beberapa lapis murid Wakidi yang belajar seperti kelompok ini, misalnya Yurnalis Del (pelukis uang) , Raflus Rax ( yang menjadi Bankir), umumnya lapisan pergenerasi ini tidak atau kurang mengenal satu dengan lainnya. 

Kenapa kebanyakan murid-murid Wakidi banyak yang mengikuti jejak beliau untuk melukis dengan subjek alam ? Hal ini tidak saja di anut oleh murid-murid Wakidi, tetapi menjadi model bagi kebanyakan pelukis yang berasal dari Sumatera Barat, hal ini memang menjadi pertanyaan banyak orang. 

Ada beberapa argumen dan alasan untuk ini, pertama karena orang Minang itu beragama Islam, dalam Islam ada kritikan jika melukiskan makhluk hidup, kedua alam lingkungan di Sumatera Barat memang banyak dengan objek-objek yang indah yang tidak dimiliki oleh daerah lain. 

Momentum seperti ini juga ditangkap oleh Wakidi, dan juga murid-muridnya. Beliau memang pernah di ajak ke pemerintah pusat (Jakarta) untuk membantu pemerintah dalam bidang kesenian dan kebudayaan dan duduk sebagai petinggi di sana waktu awal kemerdekaan. Tetapi beliau menolak karena tidak cocok dengan jiwanya. 

Namun ada konsekuensi lain yang timbul dari hal ini, misalnya objek lukisan yang sama, repro lukisan yang berulang-ulang, menyebabkan banyak lukisan yang sama /mirip dengan lukisan Wakidi.

Latihan-latihan melukis atau menggambar dapat menyebabkan berkembangnya bagian otak kanan dan memudahkan untuk memahami ruang atau spasial. Berkembangnya imajinasi dan sangat membantu dalam berbagai hal, misalnya dalam kecepatan memahami cara kerja grafis komputer, pengembangan imajinasi dalam menulis dan membaca, menjadi kreatif dan sebagainya. Paling tidak hal ini penulis rasakan dimana sesuatu hal yang mungkin sulit bagi orang lain untuk memahami spasial tetapi mudah bagi orang yang telah terlatih imajinasinya.


Pelukis Yazid dan H. Tarmizi Firdaus, Tarmizi selain menjadi penyiar Islam, sekarang masih aktif mengajar di jurusan lukis Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Yazid menjadi pelukis naturalis mengikuti jejak wakidi dalam arti tidak mengikuti pendidikan formal lainnya


Yazid dengan latar belakang salah satu karyanya.

Disukai Pengunjung